Sabtu, 23 Maret 2013

IMPLEMENTASI NILAI WAJAR (FAIR VALUE) UNTUK PENGUKURAN ASET BIOLOGIS DAN PRODUK PERTANIAN



 Aset merupakan salah satu elemen dalam neraca yang menunjukkan jumlah harta yang dimiliki oleh perusahaan atau dengan kata lain aset merupakan investasi dalam perusahaan. Perusahaan biasanya menggunakan aset untuk memproduksi barang atau jasa yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan pelanggan. Barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pelanggan akan memberikan kepuasan kepada pelanggan, sehingga pelanggan bersedia membayarnya dan hal ini akan memberikan pada arus kas perusahaan. Kas itu sendiri akan memberikan jasa kepada perusahaan karena kekuasaannya terhadap sumber daya yang lain. Karena itulah keberadaan dan kesehatan dari aset menjadi sangat penting bagi perusahaan.
PSAK No 1, Paragraf 65 menyebutkan bahwa siklus operasi entitas merupakan jangka waktu antara perolehan aset untuk pemrosesan dan realisasinya dalam bentuk kas atau setara kas. Ketika siklus operasi normal entitas tidak dapat diidentifikasikan secara jelas, maka dapat diasumsikan selama dua belas bulan. Aset lancar mencakup aset (seperti persediaan dan piutang dagang) yang dijual, dikonsumsi atau direalisasikan sebagai bagian siklus operasi normal meskipun aset tersebut tidak diharapkan untuk direalisasikan dalam jangka waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan. Aset lancar juga mencakup aset yang dimiliki untuk diperdagangkan. Aset keuangan dalam kategori ini diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk diperdagangkan sesuai dengan PSAK 55 (revisi 2006): Instrumen Keuangan:Pengakuan dan Pengukuran dan bagian lancar dari aset keuangan tidak lancar. Pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan aset yang dimiliki oleh perusahaan harus berpegang pada standar-standar yang telah ditetapkan sehingga diharapkan perusahaan dapat mengelola dan memanfaatkan aset yang dimiliki dengan sebaik-baiknya, karena aset dapat merepresentasikan potensi jasa fisis dan nonfisis yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam menyediakan barang atau jasa.
Pada dasarnya, asset digolongkan menjadi dua jenis yaitu aset lancar dan aset tetap (aset tidak lancar). Aset lancar adalah jenis aset yang dapat digunakan dalam jangka waktu dekat, biasanya satu tahun (Anonym, 2012). Sedangkan asset tetap dibagi menjadi dua macam yaitu asset tetap berwujud dan asset tetap tidak berwujud. Mackenzie (2012) mendefinisikan tangible asset (asset berwujud) yang diharapkan akan digunakan selama lebih dari satu periode, atau disimpan untuk digunakan dalam proses produksi barang/jasa yang akan dijual, atau untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrative, dapat juga disebut sebagai fixed assets (aset tetap). PSAK No 19 Paragraf 08 mendefinisikan aset tidak berwujud (intangible asset) adalah aset nonmoneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif.          Jenis perusahaan yang beranekaragam memunculkan pula berbagai kategori aset yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Sebagai perbandingan, aset yang dimiliki perusahaan manufaktur tidak akan sama jenisnya dengan aset yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan karena operasional yang dilakukan kedua jenis perusahaan tersebut tidaklah sama. Perusahaan manufaktur akan memiliki asset-aset berupa mesin-mesin produksi maupun persediaan barang dalam proses. Sedangkan perusahaan perkebunan akan memunculkan tanaman-tanaman perkebunan maupun hasil perkebunan sebagai aset dalam neracanya.
Pengukuran dan penyajian atas aset biologis (biological asset) maupun hasil pertanian (agriculture) telah menjadi topik yang cukup lama dibahas dan masih hangat dibicarakan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya pertentangan tentang metode pengukuran yang tepat atas jenis aset ini karena karakteristiknya yang unik dan berbeda dibandingkan jenis aset tidak lancar lainnya. Dalam IAS 41, jenis aset yang dibahas terkait dengan aktivitas pertanian yaitu aset biologis, produk pertanian yang dihasilkan saat panen, maupun hibah pemerintah.
Berdasarkan IAS 41, aktivitas pertanian dapat diartikan sebagai proses manajemen yang dilakukan suatu entitas atas transformasi biologis dan panen aset biologis untuk dijual atau untuk dikonversi menjadi produk agricultural atau menjadi asset biologis lainnya. Transformasi biologis meliputi proses tumbuh, degenerasi, produksi, dan prokreasi yang mengakibatkan perubahan kualitas maupun kuantitas atas aset biologis itu sendiri. Standar ini tidak berlaku untuk tanah yang terkait dengan kegiatan pertanian serta aset tidak berwujud terkait dengan kegiatan pertanian (IAS 38).
Aset biologis (termasuk aset tidak lancar) antara lain hewan ternak dan tanaman. Aset biologis diukur pada awal pengakuan dan pada akhir periode sebesar nilai wajar dikurangi biaya penjualan (nilai realisasi bersih). Perusahaan mencatat keuntungan dan kerugian atas nilai realisasi bersih. Sedangkan aset yang dihasilkan saat panen adalah hasil dari aset biologis seperti wool yang dihasilkan domba, susu yang dihasilkan sapi perah, atau buah-buahan yang dihasilkan tanaman buah. Produk pertanian diukur sebesar nilai wajar dikurangi biaya penjualan (nilai realisasi bersih) pada saat panen (Kieso,2012).
Aset biologis harus dinilai pada saat pengakuan awal dan pada setiap tanggal neraca dengan menggunakan nilai wajar. Hasil yang diperoleh dari aset biologis dinilai dengan menggunakan nilai wajar dikurangi dengan estimasi biaya pada saat penjualan hasil panen. Selisih yang berasal dari penilaian hasil aset biologis diakui sebagai bagian dari laba rugi tahun berjalan. Penilaian aset biologis dilakukan dengan mengelompokkan terlebih dahulu berdasarkan umur dan kualitas. Selisih yang berasal dari penilaian aset biologis ini harus diakui sebagai bagian dari laba rugi tahun berjalan.
Entitas yang memiliki aset biologis dapat mengakui aset biologis maupun produk pertaniannya ketika dan hanya ketika entitas tersebut memegang kontrol atas aset tersebut sebagai akibat dari kejadian masa lalu, kemungkinan akan mendapatkan keuntungan ekonomis di masa depan yang terkait dengan aset, serta nilai wajar atau biaya atas aset dapat diukur secara handal. Produk pertanian yang dihasilkan dari panen aset biologis dapat diukur pada nilai wajarnya dikurangi estimasi point-of-sale costs saat panen.
Untuk mengukur aset biologis menggunakan nilai wajar (fair value) sebagaimana diatur dalam IFRS, Penilai dapat menerapkan 3 (tiga) pendekatan, sebagai berikut: Pendekatan Pasar (Market Data Approach), Pendekatan Biaya (Cost Approach), Pendekatan Pendapatan (Income Approach).  
1.      Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) yaitu penilaian yang mendasarkan pada Perbandingan data dari aset biologis yang sejenis dan dilakukan dengan melakukan penyesuaian atas faktor–faktor yang berpengaruh terhadap Nilai Pasar Biologis yang dinilai pada saat penilaian. Secara umum, pendekatan ini dinyatakan dengan rumusan: Indikasi Nilai Pasar Aset Biologis = Data Pasar Aset Biologis Pembanding ± Penyesuaian terhadap faktor faktor yang mempengaruhi Nilai pasar Aset Biologis.
2.      Pendekatan Biaya (Cost Approach) yaitu penilaian yang mendasarkan pada besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset biologis seperti pada saat dilakukan penilaian atau seperti kondisi pada tanggal penilaian (cut off date) dengan memperhatikan kondisi dari aset biologis (faktor-faktor koreksi yang mempengaruhi kondisi aset biologis).
3.      Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dapat digunakan untuk penilaian aset biologis karena aset biologis menghasilkan pendapatan (income producing asset). Pendekatan pendapatan terkait erat dengan nilai pasar investasi aset biologis untuk jangka panjang, sehingga faktor rate of return harus dapat mengakomodasi unsur risiko dan penghasilan dari investasi aset biologis tersebut untuk jangka panjang. Pendekatan pendapatan akan dapat menggambarkan nilai pasar biologis bila prinsip penilaian yang terkait dengan Pendekatan Pendapatan dipenuhi dengan baik (Supriyanto, 2010).
Setiap entitas atau perusahaan yang sebelumnya telah mengukur aset biologis pada nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual harus melanjutkan mengukur aset biologis tersebut pada nilai wajar dikurangi biaya untul menjual sampai aset tersebut ditukar (disposal). Begitu juga perlakuan untuk produk pertanian. Implementasi IAS 41 yang dirasa masih sulit bagi perusahaan dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Prancis, Australia, dan Inggris ditemukan bahwa pengukuran aset biologis berbasis biaya historis (historical cost) masih digunakan secara luas. Survey yang dilakukan memberikan hasil bahwa pengukuran aset biologis menggunakan nilai wajar jauh lebih besar biayanya dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh (Elad dan Herbohn, 2011).
Contoh penerapan IAS 41 pada laporan keuangan perusahaan yaitu pada perusahaan Wilmar di Singapura. Wilmar merupakan perusahaan perkebunan yang listing di Bursa efek Singapura dan telah mengadopsi IFRS secara penuh untuk pelaporan keuangannya. Aset biologisnya disajikan di bagian aset tidak lancar dan pada Catatan Atas Laporan Keuangan disebutkan bahwa aset biologis ini terdiri dari pohon sawit muda (immature oil palm plantations) dan pohon sawit siap panen (mature oil plant plantations). Wilmar menggunakan biaya akuisisi untuk mengukur nilai aset biologis berupa pohon sawit muda. Sedangkan pohon sawit yang siap panen diukur menggunakan nilai wajar dikurangi estimasi biaya point-of-sale. Biaya point-of-sale ini meliputi semua biaya yang penting dalam menjual aset tersebut (Wilmar, 2011).     
Penyajian aset biologis oleh perusahaan perkebunan di Indonesia contohnya pada laporan keuangan Astra Agro Lestari. Aset biologis berupa tanaman perkebunan (khususnya tanaman karet) disajikan pada aset tidak lancar. Tanaman perkebunan ini meliputi tanaman menghasilkan (mature plantations) dan tanaman belum menghasilkan (immature plantations). AALI belum menerapkan IAS 41 secara penuh. Hal ini terlihat pada kebijakan akuntansi yang dipaparkan pada Catatan Atas Laporan Keuangannya. Immature plantation disajikan sebesar biaya akuisisinya dimana biaya tersebut termasuk biaya persiapan, penanaman, penyuburan, dan perawatan. Ketika tanaman telah tumbuh menjadi mature plantations maka biaya akan diakumulasikan dan direklasifikasi menjadi mature plantations. Mature plantations akan disusutkan menggunakan metode garis lurus dengan estimasi umur ekonomis 20 tahun (Astra Agro Lestari, 2011). 
Permasalahan yang muncul terkait dengan aset biologis dan produk pertanian ini adalah karakteristiknya yang bermacam-macam namun metode pengukurannya tidak ada perbedaan satu dengan lainnya. Sebagai contoh sebuah pohon jati yang termasuk dalam aset biologis pada umumnya ditanam dan siap dipanen sekitar 20-25 tahun kemudian. Dari gambaran ini saja, kita dapat membayangkan bagaimana entitas atau perusahaan yang memiliki aset biologis berupa pohon jati dapat mengakui kenaikan maupun penurunan pendapatan yang belum direalisasikan selama 25 tahun? Hal ini tentu dapat menyebabkan ketidakbenaran informasi yang disajikan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Beberapa penelitian mengungkapkan kelemahan penerapan IAS 41. Aryanto (2011) menyebutkan beberapa kegagalan IAS 41 antara lain:
1.      Konsep akuntansi yang dipakai dalam IAS 41 adalah konsep tambahan
2.      Perlakuan yang berbeda atas aset biologis diperlukan untuk aset biologis yang ditahan kurang dari satu tahun dan yang lebih dari satu tahun
3.      IAS 41 merupakan contoh yang jelas terlalu umumnya perlakuan untuk aset biologis yang memiliki berbagai macam tipe, dimana hal tersebut berdampak signifikan pada kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan.
Lebih lanjut, Aryanto memberi saran untuk perlakuan aset biologis yang dapat diterapkan oleh perusahaan seperti gambar dibawah ini.
           Pada penelitian lainnya yang dilakukan Elad dan Herbohn (2011), menemukan beberapa permasalahan dalam praktik IAS 41, antara lain:
1.      Karakteristik kualitatif tidak bisa diperbandingkan karena adanya beragam metode yang digunakan untuk mengukur nilai wajar
2.      Tidak ditemukannya batasan cost benefit, misalnya dalam estimasi nilai wajar yang dilakukan oleh appraisal
3.      Earnings volatility
4.      Data yang dihasilkan tidak handal (unreliable) karena nilai wajar yang ditentukan oleh otoritas pasar tidak menggambarkan nilai wajar komoditas itu sendiri.  
Dari penjelasan dan hasil penelitian yang telah dibahas di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan IAS 41 secara penuh oleh perusahaan yang memiliki aset biologis dan produk pertanian masih mengalami berbagai kesulitan. Adanya karakteristik yang bermacam-macam atas aset biologis menyebabkan perusahaan tidak bisa menggunakan hanya satu metode pengukuran saja karena akan berdampak pada kualitas penyajian informasi oleh perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian dan kajian lebih mendalam lagi tentang penggunakaan nilai wajar untuk mengukur aset biologis dan produk pertanian, khususnya yang telah ditetapkan pada IAS 41.


Referensi
Anonym. 2012. Aset. (http://id.wikipedia.org/wiki/aset, diakses tanggal 26 Desember 2012)
Aryanto, Yohanes Handoko. 2011. Theoretical Failure of IAS 41: Agriculture.
Astra Agro Lestari. 2011. Financial Report.
Elad, Charles dan Kathleen Herbohn. 2011. Implementing Fair Value Accounting In Agricultural Sector. The Institute of Chartered Accountants of Scotland.
Kieso, Donald E., Jerry J Weygandt, dan Terry D. Warfield. 2012. Intermediate Accounting Ed.14. John Wiley and Sons, Inc. 
Mackenzie, Bruce. 2012. Interpretation and Application of International Financial Reporting Standards. John Wiley and Sons, Inc.
Supriyanto, Benny. 2010. Biological Asset Valuation Untuk Keperluan Laporan Keuangan (IAS 41). Jakarta: IAI.
Wilmar. 2011. Annual Report.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar