Sabtu, 23 Maret 2013

IMPLEMENTASI NILAI WAJAR (FAIR VALUE) UNTUK PENGUKURAN ASET BIOLOGIS DAN PRODUK PERTANIAN



 Aset merupakan salah satu elemen dalam neraca yang menunjukkan jumlah harta yang dimiliki oleh perusahaan atau dengan kata lain aset merupakan investasi dalam perusahaan. Perusahaan biasanya menggunakan aset untuk memproduksi barang atau jasa yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan pelanggan. Barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pelanggan akan memberikan kepuasan kepada pelanggan, sehingga pelanggan bersedia membayarnya dan hal ini akan memberikan pada arus kas perusahaan. Kas itu sendiri akan memberikan jasa kepada perusahaan karena kekuasaannya terhadap sumber daya yang lain. Karena itulah keberadaan dan kesehatan dari aset menjadi sangat penting bagi perusahaan.
PSAK No 1, Paragraf 65 menyebutkan bahwa siklus operasi entitas merupakan jangka waktu antara perolehan aset untuk pemrosesan dan realisasinya dalam bentuk kas atau setara kas. Ketika siklus operasi normal entitas tidak dapat diidentifikasikan secara jelas, maka dapat diasumsikan selama dua belas bulan. Aset lancar mencakup aset (seperti persediaan dan piutang dagang) yang dijual, dikonsumsi atau direalisasikan sebagai bagian siklus operasi normal meskipun aset tersebut tidak diharapkan untuk direalisasikan dalam jangka waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan. Aset lancar juga mencakup aset yang dimiliki untuk diperdagangkan. Aset keuangan dalam kategori ini diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk diperdagangkan sesuai dengan PSAK 55 (revisi 2006): Instrumen Keuangan:Pengakuan dan Pengukuran dan bagian lancar dari aset keuangan tidak lancar. Pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan aset yang dimiliki oleh perusahaan harus berpegang pada standar-standar yang telah ditetapkan sehingga diharapkan perusahaan dapat mengelola dan memanfaatkan aset yang dimiliki dengan sebaik-baiknya, karena aset dapat merepresentasikan potensi jasa fisis dan nonfisis yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam menyediakan barang atau jasa.
Pada dasarnya, asset digolongkan menjadi dua jenis yaitu aset lancar dan aset tetap (aset tidak lancar). Aset lancar adalah jenis aset yang dapat digunakan dalam jangka waktu dekat, biasanya satu tahun (Anonym, 2012). Sedangkan asset tetap dibagi menjadi dua macam yaitu asset tetap berwujud dan asset tetap tidak berwujud. Mackenzie (2012) mendefinisikan tangible asset (asset berwujud) yang diharapkan akan digunakan selama lebih dari satu periode, atau disimpan untuk digunakan dalam proses produksi barang/jasa yang akan dijual, atau untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrative, dapat juga disebut sebagai fixed assets (aset tetap). PSAK No 19 Paragraf 08 mendefinisikan aset tidak berwujud (intangible asset) adalah aset nonmoneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif.          Jenis perusahaan yang beranekaragam memunculkan pula berbagai kategori aset yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Sebagai perbandingan, aset yang dimiliki perusahaan manufaktur tidak akan sama jenisnya dengan aset yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan karena operasional yang dilakukan kedua jenis perusahaan tersebut tidaklah sama. Perusahaan manufaktur akan memiliki asset-aset berupa mesin-mesin produksi maupun persediaan barang dalam proses. Sedangkan perusahaan perkebunan akan memunculkan tanaman-tanaman perkebunan maupun hasil perkebunan sebagai aset dalam neracanya.
Pengukuran dan penyajian atas aset biologis (biological asset) maupun hasil pertanian (agriculture) telah menjadi topik yang cukup lama dibahas dan masih hangat dibicarakan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya pertentangan tentang metode pengukuran yang tepat atas jenis aset ini karena karakteristiknya yang unik dan berbeda dibandingkan jenis aset tidak lancar lainnya. Dalam IAS 41, jenis aset yang dibahas terkait dengan aktivitas pertanian yaitu aset biologis, produk pertanian yang dihasilkan saat panen, maupun hibah pemerintah.
Berdasarkan IAS 41, aktivitas pertanian dapat diartikan sebagai proses manajemen yang dilakukan suatu entitas atas transformasi biologis dan panen aset biologis untuk dijual atau untuk dikonversi menjadi produk agricultural atau menjadi asset biologis lainnya. Transformasi biologis meliputi proses tumbuh, degenerasi, produksi, dan prokreasi yang mengakibatkan perubahan kualitas maupun kuantitas atas aset biologis itu sendiri. Standar ini tidak berlaku untuk tanah yang terkait dengan kegiatan pertanian serta aset tidak berwujud terkait dengan kegiatan pertanian (IAS 38).
Aset biologis (termasuk aset tidak lancar) antara lain hewan ternak dan tanaman. Aset biologis diukur pada awal pengakuan dan pada akhir periode sebesar nilai wajar dikurangi biaya penjualan (nilai realisasi bersih). Perusahaan mencatat keuntungan dan kerugian atas nilai realisasi bersih. Sedangkan aset yang dihasilkan saat panen adalah hasil dari aset biologis seperti wool yang dihasilkan domba, susu yang dihasilkan sapi perah, atau buah-buahan yang dihasilkan tanaman buah. Produk pertanian diukur sebesar nilai wajar dikurangi biaya penjualan (nilai realisasi bersih) pada saat panen (Kieso,2012).
Aset biologis harus dinilai pada saat pengakuan awal dan pada setiap tanggal neraca dengan menggunakan nilai wajar. Hasil yang diperoleh dari aset biologis dinilai dengan menggunakan nilai wajar dikurangi dengan estimasi biaya pada saat penjualan hasil panen. Selisih yang berasal dari penilaian hasil aset biologis diakui sebagai bagian dari laba rugi tahun berjalan. Penilaian aset biologis dilakukan dengan mengelompokkan terlebih dahulu berdasarkan umur dan kualitas. Selisih yang berasal dari penilaian aset biologis ini harus diakui sebagai bagian dari laba rugi tahun berjalan.
Entitas yang memiliki aset biologis dapat mengakui aset biologis maupun produk pertaniannya ketika dan hanya ketika entitas tersebut memegang kontrol atas aset tersebut sebagai akibat dari kejadian masa lalu, kemungkinan akan mendapatkan keuntungan ekonomis di masa depan yang terkait dengan aset, serta nilai wajar atau biaya atas aset dapat diukur secara handal. Produk pertanian yang dihasilkan dari panen aset biologis dapat diukur pada nilai wajarnya dikurangi estimasi point-of-sale costs saat panen.
Untuk mengukur aset biologis menggunakan nilai wajar (fair value) sebagaimana diatur dalam IFRS, Penilai dapat menerapkan 3 (tiga) pendekatan, sebagai berikut: Pendekatan Pasar (Market Data Approach), Pendekatan Biaya (Cost Approach), Pendekatan Pendapatan (Income Approach).  
1.      Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) yaitu penilaian yang mendasarkan pada Perbandingan data dari aset biologis yang sejenis dan dilakukan dengan melakukan penyesuaian atas faktor–faktor yang berpengaruh terhadap Nilai Pasar Biologis yang dinilai pada saat penilaian. Secara umum, pendekatan ini dinyatakan dengan rumusan: Indikasi Nilai Pasar Aset Biologis = Data Pasar Aset Biologis Pembanding ± Penyesuaian terhadap faktor faktor yang mempengaruhi Nilai pasar Aset Biologis.
2.      Pendekatan Biaya (Cost Approach) yaitu penilaian yang mendasarkan pada besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset biologis seperti pada saat dilakukan penilaian atau seperti kondisi pada tanggal penilaian (cut off date) dengan memperhatikan kondisi dari aset biologis (faktor-faktor koreksi yang mempengaruhi kondisi aset biologis).
3.      Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dapat digunakan untuk penilaian aset biologis karena aset biologis menghasilkan pendapatan (income producing asset). Pendekatan pendapatan terkait erat dengan nilai pasar investasi aset biologis untuk jangka panjang, sehingga faktor rate of return harus dapat mengakomodasi unsur risiko dan penghasilan dari investasi aset biologis tersebut untuk jangka panjang. Pendekatan pendapatan akan dapat menggambarkan nilai pasar biologis bila prinsip penilaian yang terkait dengan Pendekatan Pendapatan dipenuhi dengan baik (Supriyanto, 2010).
Setiap entitas atau perusahaan yang sebelumnya telah mengukur aset biologis pada nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual harus melanjutkan mengukur aset biologis tersebut pada nilai wajar dikurangi biaya untul menjual sampai aset tersebut ditukar (disposal). Begitu juga perlakuan untuk produk pertanian. Implementasi IAS 41 yang dirasa masih sulit bagi perusahaan dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Prancis, Australia, dan Inggris ditemukan bahwa pengukuran aset biologis berbasis biaya historis (historical cost) masih digunakan secara luas. Survey yang dilakukan memberikan hasil bahwa pengukuran aset biologis menggunakan nilai wajar jauh lebih besar biayanya dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh (Elad dan Herbohn, 2011).
Contoh penerapan IAS 41 pada laporan keuangan perusahaan yaitu pada perusahaan Wilmar di Singapura. Wilmar merupakan perusahaan perkebunan yang listing di Bursa efek Singapura dan telah mengadopsi IFRS secara penuh untuk pelaporan keuangannya. Aset biologisnya disajikan di bagian aset tidak lancar dan pada Catatan Atas Laporan Keuangan disebutkan bahwa aset biologis ini terdiri dari pohon sawit muda (immature oil palm plantations) dan pohon sawit siap panen (mature oil plant plantations). Wilmar menggunakan biaya akuisisi untuk mengukur nilai aset biologis berupa pohon sawit muda. Sedangkan pohon sawit yang siap panen diukur menggunakan nilai wajar dikurangi estimasi biaya point-of-sale. Biaya point-of-sale ini meliputi semua biaya yang penting dalam menjual aset tersebut (Wilmar, 2011).     
Penyajian aset biologis oleh perusahaan perkebunan di Indonesia contohnya pada laporan keuangan Astra Agro Lestari. Aset biologis berupa tanaman perkebunan (khususnya tanaman karet) disajikan pada aset tidak lancar. Tanaman perkebunan ini meliputi tanaman menghasilkan (mature plantations) dan tanaman belum menghasilkan (immature plantations). AALI belum menerapkan IAS 41 secara penuh. Hal ini terlihat pada kebijakan akuntansi yang dipaparkan pada Catatan Atas Laporan Keuangannya. Immature plantation disajikan sebesar biaya akuisisinya dimana biaya tersebut termasuk biaya persiapan, penanaman, penyuburan, dan perawatan. Ketika tanaman telah tumbuh menjadi mature plantations maka biaya akan diakumulasikan dan direklasifikasi menjadi mature plantations. Mature plantations akan disusutkan menggunakan metode garis lurus dengan estimasi umur ekonomis 20 tahun (Astra Agro Lestari, 2011). 
Permasalahan yang muncul terkait dengan aset biologis dan produk pertanian ini adalah karakteristiknya yang bermacam-macam namun metode pengukurannya tidak ada perbedaan satu dengan lainnya. Sebagai contoh sebuah pohon jati yang termasuk dalam aset biologis pada umumnya ditanam dan siap dipanen sekitar 20-25 tahun kemudian. Dari gambaran ini saja, kita dapat membayangkan bagaimana entitas atau perusahaan yang memiliki aset biologis berupa pohon jati dapat mengakui kenaikan maupun penurunan pendapatan yang belum direalisasikan selama 25 tahun? Hal ini tentu dapat menyebabkan ketidakbenaran informasi yang disajikan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Beberapa penelitian mengungkapkan kelemahan penerapan IAS 41. Aryanto (2011) menyebutkan beberapa kegagalan IAS 41 antara lain:
1.      Konsep akuntansi yang dipakai dalam IAS 41 adalah konsep tambahan
2.      Perlakuan yang berbeda atas aset biologis diperlukan untuk aset biologis yang ditahan kurang dari satu tahun dan yang lebih dari satu tahun
3.      IAS 41 merupakan contoh yang jelas terlalu umumnya perlakuan untuk aset biologis yang memiliki berbagai macam tipe, dimana hal tersebut berdampak signifikan pada kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan.
Lebih lanjut, Aryanto memberi saran untuk perlakuan aset biologis yang dapat diterapkan oleh perusahaan seperti gambar dibawah ini.
           Pada penelitian lainnya yang dilakukan Elad dan Herbohn (2011), menemukan beberapa permasalahan dalam praktik IAS 41, antara lain:
1.      Karakteristik kualitatif tidak bisa diperbandingkan karena adanya beragam metode yang digunakan untuk mengukur nilai wajar
2.      Tidak ditemukannya batasan cost benefit, misalnya dalam estimasi nilai wajar yang dilakukan oleh appraisal
3.      Earnings volatility
4.      Data yang dihasilkan tidak handal (unreliable) karena nilai wajar yang ditentukan oleh otoritas pasar tidak menggambarkan nilai wajar komoditas itu sendiri.  
Dari penjelasan dan hasil penelitian yang telah dibahas di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan IAS 41 secara penuh oleh perusahaan yang memiliki aset biologis dan produk pertanian masih mengalami berbagai kesulitan. Adanya karakteristik yang bermacam-macam atas aset biologis menyebabkan perusahaan tidak bisa menggunakan hanya satu metode pengukuran saja karena akan berdampak pada kualitas penyajian informasi oleh perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian dan kajian lebih mendalam lagi tentang penggunakaan nilai wajar untuk mengukur aset biologis dan produk pertanian, khususnya yang telah ditetapkan pada IAS 41.


Referensi
Anonym. 2012. Aset. (http://id.wikipedia.org/wiki/aset, diakses tanggal 26 Desember 2012)
Aryanto, Yohanes Handoko. 2011. Theoretical Failure of IAS 41: Agriculture.
Astra Agro Lestari. 2011. Financial Report.
Elad, Charles dan Kathleen Herbohn. 2011. Implementing Fair Value Accounting In Agricultural Sector. The Institute of Chartered Accountants of Scotland.
Kieso, Donald E., Jerry J Weygandt, dan Terry D. Warfield. 2012. Intermediate Accounting Ed.14. John Wiley and Sons, Inc. 
Mackenzie, Bruce. 2012. Interpretation and Application of International Financial Reporting Standards. John Wiley and Sons, Inc.
Supriyanto, Benny. 2010. Biological Asset Valuation Untuk Keperluan Laporan Keuangan (IAS 41). Jakarta: IAI.
Wilmar. 2011. Annual Report.

PPN UNTUK PEDAGANG ECERAN (RETAIL)



Beberapa Peraturan Terkait
·         PP No. 1 tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
·         SE - 63/PJ/2010 Tentang Penyampaian Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu Dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Kegiatan Tertentu Serta Penjelasan Tambahan Untuk Pengisian SPT Masa PPN Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Dalam Menghitung Pajak Masukan Yang Dapat Dikreditkan Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
·         PER - 58/PJ/2010 Tentang Bentuk Dan Ukuran Formulir Serta Tata Cara Pengisian Keterangan Pada Faktur Pajak Bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran

PP No.1 tahun 2012 (Ps.20)
Pedagang eceran adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dalam kegiatan usahanya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dengan cara sbb:
a.    melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya
b.    dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan pada umumnya penyerahan BKP atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa BKP yang dibelinya.
Selain itu, pedagang eceran juga termasuk Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usahanya melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dengan cara sbb:
a.    melalui suatu tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya
b.    dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan pada umumnya pembayaran atas penyerahan JKP dilakukan secara tunai.

SE - 63/PJ/2010
Pedagang eceran dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dan kriteria PKP dengan ketentuan sebagai berikut:
a.    PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dan PKP  yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan untuk menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
b.    PKP yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku kurang dari Rp 1.800.000.000 dapat memilih untuk menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan untuk menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan adalah sebagai berikut:
a.    Bagi PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas ecara eceran  sebesar 90% dari Pajak Keluaran;
b.    Bagi PKP yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran sebesar 80% dari Pajak Keluaran;
c.    Bagi PKP yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi Rp 1.800.000.000 adalah sebesar 60% dari Pajak Keluaran untuk penyerahan JKP atau 70% dari Pajak Keluaran untuk penyerahan BKP
Sedangkan Pajak Keluarannya dihitung dengan cara mengalikan tarif 10 % dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan DPP itu sendiri merupakan jumlah peredaran usaha (omzet).

PER - 58/PJ/2010
Faktur Pajak yang dibuat PKP PE paling sedikit harus memuat keterangan:
a.    nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP
b.    jenis BKP yang diserahkan
c.    jumlah Harga Jual yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah
d.    Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut
e.    kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
Faktur Pajak yang dibuat PKP PE dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.

SURFER DUDE DUDS, INC. :: MEMPERTIMBANGKAN ASUMSI GOING-CONCERN



 LATAR BELAKANG
·        Surfer Dude Duds, Inc khusus menjual pakaian dan aksesoris bagi peselancar.
·        Auditor, Markus, telah menjalin pertemanan yang baik dengan CEO Surfer Dude, George Baldwin. Mark pernah bekerja sebagai partner audit atas audit Surfer Dude selama enam tahun terakhir dan Mark siap untuk terlibat dalam audit tahun ini. Dalam enam tahun audit atas Surfer Dude, Mark selalu memberikan opini unqualified.
·        Tahun ini berbeda karena perekonomian berada dalam resesi dan tren negatif terjadi pada industri pakaian. Salah satu dampak yang dirasakan Surfer Dude adalah penjualan menurun dan perusahaan berusaha untuk memenuhi semua kewajiban keuangannya. Analis meramalkan masa sulit terus berlanjut untuk ritel pakaian. Akibatnya, auditor mulai meragukan kemampuan perusahaan untuk bertahan dalam bisnis melalui tahun depan. Setelah berunding dengan concurring partner audit, Mark enggan mempertimbangkan penambahan penjelasan atas going-concern pada laporan audit.
·        Pertemuan yang akan berlangsung dijadwalkan akan membahas keputusan untuk mengeluarkan laporan going-concern dan untuk membahas pengungkapan foot note atas masalah tersebut. Manajemen masih yakin terkait going-concern perusahaan mereka dan kondisinya akan membaik. Namun, auditor menjelaskan bahwa melihat kondisi sekarang bukan tidak mungkin perusahaan akan bangkrut sehingga auditor meminta manajemen untuk menyetujui penambahan paragraf penjelasan tentang going-concern yang akan tercantum dalam laporan audit serta menambahkan foot note pada laporan keuangannya. Namun, manajemen menolak karena khawatir tidak akan ada kreditur yang bersedia memberi pinjaman dan karyawannya akan kehilangan pekerjaan.

PERTANYAAN
1.      Apa saja pilihan Markus?
·        Markus sebagai partner audit harus dapat meyakinkan manajemen perusahaan atas kondisi keuangan dan tren negatif yang sedang terjadi.
·        Markus perlu menjelaskan pentingnya laporan going-concern, karena menurut SPAP SA seksi 341 auditor bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode waktu pantas, tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang di audit.
 2.      Bagaimana sebuah paragraf going-concern menjadi "self-fulfilling prophecy" untuk Surfer Dude?
·        Paragraf penjelasan tentang going-concern pada laporan audit dapat berdampak besar bagi perusahaan. Laporan audit akan menjadi dasar pengambilan keputusan bagi stakeholders perusahaan. Apabila dalam laporan keuangan terdapat paragraf tentang going-concern, maka hal ini menjelaskan bahwa perusahaan kemungkinan besar tidak bisa bertahan. Dampaknya, perusahaan dapat menderita kerugian yang besar karena tidak akan ada kreditur yang bersedia meminjamkan uang, tidak ada investor yang bersedia untuk mendanai perusahaan, dan serta perusahaan bisa kehilangan pelanggannya.
 3.      Apa implikasi potensial yang muncul bagi kantor akuntan jika mereka mengeluarkan laporan unqualified tanpa paragraf going-concern?
·        Tidak etis bagi KAP yang mengeluarkan laporan audit uqualified tanpa laporan going-concern karena setiap laporan audit harus terdiri dari alasan mengapa auditor memberikan opini unqualified.
·        Laporan audit unqualified tidak harus menghilangkan informasi apapun atau menyisipkan informasi yang tidak relevan dalam laporan tersebut. Laporan auditor unqualified setidaknya berisi tiga bagian yaitu paragraf pengantar, paragraf lingkup, dan pendapat auditor. Oleh karena itu auditor harus memberikan semua informasi yang diperlukan dalam laporan audit yang dikeluarkan.
 4.      Diskusikan pentingnya auditor melaporkan secara lengkap dan akurat hasil audit kepada publik dan menggambarkan konsekuensi yang mungkin bagi auditor maupun klien jika tidak ada penjelasan atas going-concern. Bagaimanakah Mark meyakinkan George bahwa laporan going-concern adalah demi kepentingan terbaik untuk semua pihak yang terlibat?
·        Laporan audit yang lengkap dan akurat diperlukan karena laporan audit menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Untuk menghasilkan laporan audit yang akurat diperlukan kerjasama dari klien, misalnya memberikan account yang benar. Apabila auditor mengetahui informasi yang diberikan tidak benar namun auditor tidak mengungkapkan maka auditor akan bertanggung jawab secara hukum.
·        Auditor perlu meyakinkan klien untuk tidak khawatir dengan laporan going-concern yang akan dikeluarkan. Masih ada kemungkinan stakeholder akan membantu kelangsungan hidup perusahaan. Auditor juga dapat menyarankan perusahaan untuk bergabung dengan pesaingnya agar tetap bisa beroperasi dan memperbaiki kondisi keuangan saat ini. Seperti dijelaskan dalam SPAP SA seksi 341, auditor memberikan paragraf penjelasan tentang going-concern berdasarkan evaluasi yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.      Auditor mempertimbangkan apakah hasil prosedur yang dilaksanakan dalam perencanaan, pengumpulan bukti audit untuk berbagai tujuan audit, dan penyelesaian auditnya, dapat mengidentifikasi keadaan atau peristiwa yang, secara keseluruhan, menunjukkan adanya kesangsian besar mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas.
2.      Jika auditor yakin bahwa terdapat kesangsian besar mengenai kemampuan entitas d mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, ia harus:
    memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditujukan untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut, dan
    menentukan apakah kemungkinan bahwa rencana tersebut dapat secara efektif dilaksanakan.
3.      Setelah auditor mengevaluasi rencana manajemen, ia mengambil kesimpulan apakah ia masih memiliki kesangsian besar mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas.
5.      Tepatkah adanya hubungan partner audit yang memiliki hubungan pribadi yang baik dengan klien?
·        Hubungan ini tidak bermasalah asalkan kedua pihak bisa menjaga profesionalitas.
 6.      Faktor-faktor apa yang harus memotivasi Mark untuk bersikap objektif dalam keputusannya, meskipun khawatir sebagai teman?
·        Mark sebagai auditor memikirkan hal-hal seperti tanggung jawab hukum yang dihadapi, mengacu pada standar auditor, dan pertimbangan etis sebagai auditor terhadap kliennya.
 7.      Menurut pendapat Anda, apa yang harus dilakukan Mark?
·        Sudah seharusnya auditor memberikan paragraf penjelasan atas going-concern dalam laporan auditnya karena auditor bertanggungjawab atas semua isi laporan. Laporan tersebut dapat digunakan oleh klien untuk menyusun strategi bagaimana caranya untuk pulih dari posisi yang merugikan tersebut. Sesuai SAPA SA seksi 341, klien juga perlu mengetahui bahwa auditor tidak bertanggung jawab untuk memprediksi kondisi atau peristiwa yang akan datang. Fakta bahwa entitas kemungkinan akan berakhir kelangsungan hidupnya setelah menerima laporan dari auditor yang tidak memperlihatkan kesangsian besar, dalam jangka waktu satu tahun setelah tanggal laporan keuangan, tidak berarti dengan sendirinya menunjukkan kinerja audit yang tidak memadai. Oleh karena itu, tidak dicantumkannya kesangsian besar dalam laporan auditor tidak seharusnya dipandang sebagai jaminan mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.