Aset merupakan salah satu elemen dalam neraca yang
menunjukkan jumlah harta yang dimiliki oleh perusahaan atau dengan kata lain
aset merupakan investasi dalam perusahaan. Perusahaan biasanya menggunakan aset
untuk memproduksi barang atau jasa yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan
keperluan pelanggan. Barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan yang sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan pelanggan akan memberikan kepuasan kepada
pelanggan, sehingga pelanggan bersedia membayarnya dan hal ini akan memberikan
pada arus kas perusahaan. Kas itu sendiri akan memberikan jasa kepada
perusahaan karena kekuasaannya terhadap sumber daya yang lain. Karena itulah
keberadaan dan kesehatan dari aset menjadi sangat penting bagi perusahaan.
PSAK No
1, Paragraf 65 menyebutkan bahwa siklus operasi entitas merupakan jangka waktu
antara perolehan aset untuk pemrosesan dan realisasinya dalam bentuk kas atau
setara kas. Ketika siklus operasi normal entitas tidak dapat diidentifikasikan
secara jelas, maka dapat diasumsikan selama dua belas bulan. Aset lancar
mencakup aset (seperti persediaan dan piutang dagang) yang dijual, dikonsumsi
atau direalisasikan sebagai bagian siklus operasi normal meskipun aset tersebut
tidak diharapkan untuk direalisasikan dalam jangka waktu dua belas bulan
setelah periode pelaporan. Aset lancar juga mencakup aset yang dimiliki untuk
diperdagangkan. Aset keuangan dalam kategori ini diklasifikasikan sebagai
dimiliki untuk diperdagangkan sesuai dengan PSAK 55 (revisi 2006): Instrumen
Keuangan:Pengakuan dan Pengukuran dan bagian lancar dari aset keuangan
tidak lancar. Pengakuan, pengukuran,
penyajian, dan pengungkapan aset yang dimiliki oleh perusahaan harus berpegang
pada standar-standar yang telah ditetapkan sehingga diharapkan perusahaan dapat
mengelola dan memanfaatkan aset yang dimiliki dengan sebaik-baiknya, karena
aset dapat merepresentasikan potensi jasa fisis dan nonfisis yang menunjukan
kemampuan perusahaan dalam menyediakan barang atau jasa.
Pada dasarnya, asset digolongkan menjadi dua jenis
yaitu aset lancar dan aset tetap (aset tidak lancar). Aset lancar adalah jenis aset yang dapat digunakan dalam jangka waktu dekat,
biasanya satu tahun (Anonym, 2012). Sedangkan asset tetap dibagi menjadi dua
macam yaitu asset tetap berwujud dan asset tetap tidak berwujud. Mackenzie (2012) mendefinisikan tangible
asset (asset berwujud) yang
diharapkan akan digunakan selama lebih dari satu periode, atau disimpan untuk
digunakan dalam proses produksi barang/jasa yang akan dijual, atau untuk
disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrative, dapat juga
disebut sebagai fixed assets (aset
tetap). PSAK No 19 Paragraf 08 mendefinisikan aset
tidak berwujud (intangible asset) adalah aset nonmoneter yang dapat
diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan
dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak
lainnya, atau untuk tujuan administratif. Jenis perusahaan yang beranekaragam memunculkan pula
berbagai kategori aset yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Sebagai
perbandingan, aset yang dimiliki perusahaan manufaktur tidak akan sama jenisnya
dengan aset yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan karena operasional yang
dilakukan kedua jenis perusahaan tersebut tidaklah sama. Perusahaan manufaktur
akan memiliki asset-aset berupa mesin-mesin produksi maupun persediaan barang
dalam proses. Sedangkan perusahaan perkebunan akan memunculkan tanaman-tanaman
perkebunan maupun hasil perkebunan sebagai aset dalam neracanya.
Pengukuran dan penyajian atas aset biologis (biological asset) maupun hasil pertanian
(agriculture) telah menjadi topik
yang cukup lama dibahas dan masih hangat dibicarakan. Hal tersebut dikarenakan
masih adanya pertentangan tentang metode pengukuran yang tepat atas jenis aset
ini karena karakteristiknya yang unik dan berbeda dibandingkan jenis aset tidak
lancar lainnya. Dalam IAS 41, jenis aset yang dibahas terkait dengan aktivitas pertanian
yaitu aset biologis, produk pertanian yang dihasilkan saat panen, maupun hibah
pemerintah.
Berdasarkan
IAS 41, aktivitas pertanian dapat diartikan sebagai proses manajemen yang
dilakukan suatu entitas atas transformasi biologis dan panen aset biologis
untuk dijual atau untuk dikonversi menjadi produk agricultural atau menjadi
asset biologis lainnya. Transformasi biologis meliputi proses tumbuh,
degenerasi, produksi, dan prokreasi yang mengakibatkan perubahan kualitas
maupun kuantitas atas aset biologis itu sendiri. Standar ini tidak berlaku
untuk tanah yang terkait dengan kegiatan pertanian serta aset tidak berwujud
terkait dengan kegiatan pertanian (IAS 38).
Aset
biologis (termasuk aset tidak lancar) antara lain hewan ternak dan tanaman.
Aset biologis diukur pada awal pengakuan dan pada akhir periode sebesar nilai
wajar dikurangi biaya penjualan (nilai realisasi bersih). Perusahaan mencatat
keuntungan dan kerugian atas nilai realisasi bersih. Sedangkan aset yang
dihasilkan saat panen adalah hasil dari aset biologis seperti wool yang
dihasilkan domba, susu yang dihasilkan sapi perah, atau buah-buahan yang
dihasilkan tanaman buah. Produk pertanian diukur sebesar nilai wajar dikurangi
biaya penjualan (nilai realisasi bersih) pada saat panen (Kieso,2012).
Aset biologis harus dinilai pada
saat pengakuan awal dan pada setiap tanggal neraca dengan menggunakan nilai
wajar. Hasil yang diperoleh dari aset biologis dinilai dengan menggunakan nilai
wajar dikurangi dengan estimasi biaya pada saat penjualan hasil panen. Selisih
yang berasal dari penilaian hasil aset biologis diakui sebagai bagian dari laba
rugi tahun berjalan. Penilaian aset biologis dilakukan dengan mengelompokkan
terlebih dahulu berdasarkan umur dan kualitas. Selisih yang berasal dari
penilaian aset biologis ini harus diakui sebagai bagian dari laba rugi tahun
berjalan.
Entitas yang memiliki aset biologis
dapat mengakui aset biologis maupun produk pertaniannya ketika dan hanya ketika
entitas tersebut memegang kontrol atas aset tersebut sebagai akibat dari
kejadian masa lalu, kemungkinan akan mendapatkan keuntungan ekonomis di masa
depan yang terkait dengan aset, serta nilai wajar atau biaya atas aset dapat diukur
secara handal. Produk pertanian yang dihasilkan dari panen aset biologis dapat
diukur pada nilai wajarnya dikurangi estimasi point-of-sale costs saat panen.
Untuk mengukur aset biologis
menggunakan nilai wajar (fair value) sebagaimana
diatur dalam IFRS, Penilai dapat menerapkan 3 (tiga) pendekatan, sebagai
berikut: Pendekatan Pasar (Market Data
Approach), Pendekatan Biaya (Cost
Approach), Pendekatan Pendapatan (Income
Approach).
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data
Approach) yaitu penilaian yang mendasarkan pada Perbandingan data dari aset
biologis yang sejenis dan dilakukan dengan melakukan penyesuaian atas
faktor–faktor yang berpengaruh terhadap Nilai Pasar Biologis yang dinilai pada
saat penilaian. Secara umum, pendekatan ini dinyatakan dengan rumusan: Indikasi
Nilai Pasar Aset Biologis = Data Pasar Aset Biologis Pembanding ± Penyesuaian
terhadap faktor faktor yang mempengaruhi Nilai pasar Aset Biologis.
2. Pendekatan Biaya (Cost Approach) yaitu penilaian yang mendasarkan pada besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset biologis seperti pada saat
dilakukan penilaian atau seperti kondisi pada tanggal penilaian (cut off date) dengan memperhatikan
kondisi dari aset biologis (faktor-faktor koreksi yang mempengaruhi kondisi aset
biologis).
3.
Pendekatan
Pendapatan (Income Approach) dapat
digunakan untuk penilaian aset biologis karena aset biologis menghasilkan
pendapatan (income producing asset).
Pendekatan pendapatan terkait erat dengan nilai pasar investasi aset biologis
untuk jangka panjang, sehingga faktor rate
of return harus dapat mengakomodasi unsur risiko dan penghasilan dari
investasi aset biologis tersebut untuk jangka panjang. Pendekatan pendapatan
akan dapat menggambarkan nilai pasar biologis bila prinsip penilaian yang terkait
dengan Pendekatan Pendapatan dipenuhi dengan baik (Supriyanto, 2010).
Setiap
entitas atau perusahaan yang sebelumnya telah mengukur aset biologis pada nilai
wajar dikurangi biaya untuk menjual harus melanjutkan mengukur aset biologis
tersebut pada nilai wajar dikurangi biaya untul menjual sampai aset tersebut
ditukar (disposal). Begitu juga
perlakuan untuk produk pertanian. Implementasi IAS 41 yang dirasa masih sulit
bagi perusahaan dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Prancis, Australia, dan Inggris ditemukan bahwa
pengukuran aset biologis berbasis biaya historis (historical cost) masih digunakan secara luas. Survey yang dilakukan
memberikan hasil bahwa pengukuran aset biologis menggunakan nilai wajar jauh
lebih besar biayanya dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh (Elad dan Herbohn, 2011).
Contoh
penerapan IAS 41 pada laporan keuangan perusahaan yaitu pada perusahaan Wilmar
di Singapura. Wilmar merupakan perusahaan perkebunan yang listing di Bursa efek Singapura dan telah mengadopsi IFRS secara
penuh untuk pelaporan keuangannya. Aset biologisnya disajikan di bagian aset
tidak lancar dan pada Catatan Atas Laporan Keuangan disebutkan bahwa aset
biologis ini terdiri dari pohon sawit muda (immature
oil palm plantations) dan pohon sawit siap panen (mature oil plant plantations). Wilmar menggunakan biaya akuisisi
untuk mengukur nilai aset biologis berupa pohon sawit muda. Sedangkan pohon
sawit yang siap panen diukur menggunakan nilai wajar dikurangi estimasi biaya point-of-sale. Biaya point-of-sale ini meliputi semua biaya
yang penting dalam menjual aset tersebut (Wilmar, 2011).
Penyajian
aset biologis oleh perusahaan perkebunan di Indonesia contohnya pada laporan
keuangan Astra Agro Lestari. Aset biologis berupa tanaman perkebunan (khususnya
tanaman karet) disajikan pada aset tidak lancar. Tanaman perkebunan ini
meliputi tanaman menghasilkan (mature
plantations) dan tanaman belum menghasilkan (immature plantations). AALI belum menerapkan IAS 41 secara penuh.
Hal ini terlihat pada kebijakan akuntansi yang dipaparkan pada Catatan Atas
Laporan Keuangannya. Immature plantation disajikan
sebesar biaya akuisisinya dimana biaya tersebut termasuk biaya persiapan,
penanaman, penyuburan, dan perawatan. Ketika tanaman telah tumbuh menjadi mature plantations maka biaya akan
diakumulasikan dan direklasifikasi menjadi mature
plantations. Mature plantations akan disusutkan menggunakan metode garis
lurus dengan estimasi umur ekonomis 20 tahun (Astra Agro Lestari, 2011).
Permasalahan
yang muncul terkait dengan aset biologis dan produk pertanian ini adalah
karakteristiknya yang bermacam-macam namun metode pengukurannya tidak ada
perbedaan satu dengan lainnya. Sebagai contoh sebuah pohon jati yang termasuk
dalam aset biologis pada umumnya ditanam dan siap dipanen sekitar 20-25 tahun
kemudian. Dari gambaran ini saja, kita dapat membayangkan bagaimana entitas
atau perusahaan yang memiliki aset biologis berupa pohon jati dapat mengakui
kenaikan maupun penurunan pendapatan yang belum direalisasikan selama 25 tahun?
Hal ini tentu dapat menyebabkan ketidakbenaran informasi yang disajikan oleh
perusahaan yang bersangkutan.
Beberapa
penelitian mengungkapkan kelemahan penerapan IAS 41. Aryanto (2011) menyebutkan
beberapa kegagalan IAS 41 antara lain:
1.
Konsep akuntansi yang dipakai dalam IAS 41 adalah
konsep tambahan
2.
Perlakuan yang berbeda atas aset biologis diperlukan
untuk aset biologis yang ditahan kurang dari satu tahun dan yang lebih dari
satu tahun
3. IAS
41 merupakan contoh yang jelas terlalu umumnya perlakuan untuk aset biologis
yang memiliki berbagai macam tipe, dimana hal tersebut berdampak signifikan
pada kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan.
Lebih lanjut,
Aryanto memberi saran untuk perlakuan aset biologis yang dapat diterapkan oleh
perusahaan seperti gambar dibawah ini.
Pada penelitian lainnya yang dilakukan Elad dan Herbohn
(2011), menemukan beberapa permasalahan dalam praktik IAS 41, antara lain:
1.
Karakteristik kualitatif tidak bisa diperbandingkan
karena adanya beragam metode yang digunakan untuk mengukur nilai wajar
2.
Tidak ditemukannya batasan cost benefit, misalnya dalam estimasi nilai wajar yang dilakukan
oleh appraisal
3. Earnings volatility
4. Data
yang dihasilkan tidak handal (unreliable)
karena nilai wajar yang ditentukan oleh otoritas pasar tidak menggambarkan
nilai wajar komoditas itu sendiri.
Dari penjelasan dan hasil penelitian yang telah
dibahas di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan IAS 41 secara penuh oleh
perusahaan yang memiliki aset biologis dan produk pertanian masih mengalami
berbagai kesulitan. Adanya karakteristik yang bermacam-macam atas aset biologis
menyebabkan perusahaan tidak bisa menggunakan hanya satu metode pengukuran saja
karena akan berdampak pada kualitas penyajian informasi oleh perusahaan yang
bersangkutan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian dan kajian lebih
mendalam lagi tentang penggunakaan nilai wajar untuk mengukur aset biologis dan
produk pertanian, khususnya yang telah ditetapkan pada IAS 41.
Referensi
Anonym. 2012. Aset. (http://id.wikipedia.org/wiki/aset, diakses tanggal 26 Desember 2012)
Aryanto, Yohanes
Handoko. 2011. Theoretical Failure of IAS
41: Agriculture.
Astra
Agro Lestari. 2011. Financial Report.
Elad,
Charles dan Kathleen Herbohn. 2011. Implementing
Fair Value Accounting In Agricultural Sector. The Institute of Chartered Accountants
of Scotland.
Kieso,
Donald E., Jerry J Weygandt, dan Terry D. Warfield. 2012. Intermediate Accounting Ed.14. John Wiley and Sons, Inc.
Mackenzie,
Bruce. 2012. Interpretation and
Application of International Financial Reporting Standards. John Wiley and
Sons, Inc.
Supriyanto,
Benny. 2010. Biological Asset Valuation
Untuk Keperluan Laporan Keuangan (IAS
41). Jakarta: IAI.
Wilmar.
2011. Annual Report.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar